BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Menikah
memiliki amanah yang sangat besar amanat dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, memilih dan
memilah pasangan hidup juga merupakan hal yang harus benar-benar
diperhatikan tidak boleh asal-asalan . Agama telah memberikan setandar
dan petunjuk tentang cara mencari atau
memilih pasangan hidup yang tepat.
Muslim atau Muslimah dalam memilih calon istri atau suami
tidaklah mudah tetapi membutuhkan waktu. Karena kriteria memilih harus sesuai
dengan syariat Islam. Orang yang hendak menikah, hendaklah memilih pendamping
hidupnya dengan cermat, hal ini dikarenakan apabila seorang Muslim atau
Muslimah sudah menjatuhkan pilihan kepada pasangannya yang berarti akan menjadi
bagian dalam hidupnya. Wanita yang akan menjadi istri atau ratu dalam rumah
tangga dan menjadi ibu atau pendidik bagi anak-anaknya demikian pula pria
menjadi suami atau pemimpin rumah tangganya dan bertanggung jawab dalam
menghidupi (memberi nafkah) bagi anak istrinya. Maka dari itu, janganlah sampai
menyesal terhadap pasangan hidup pilihan kita setelah berumah tangga kelak.
dua tahun saja, akan tetapi diniatkan untuk
selama-lamanya sampai akhir hayat kita.
1.2 Rumusan masalah
1.
Bagaimanakah kriteria memilih calon
suami atau istri menurut islam?
2.
Bagaimanakah kriteria memilih calon
suami?
3.
Bagaimanakah kriteria memilih calon istri?
1.3 Tujuan penulisan
1.
Menjelaskan kriteria memilih calon
suami atau istri menurut islam
2.
Menjelaskkna kriteria memilih calon
suami
3.
Menjelaskan kriteria memilih calon
istri
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Menikah
Arti Nikah Menurut
bahasa: berkumpul atau menindas. Adapun menurut istilah Ahli Ushul, Nikah
menurut arti aslinya ialah aqad,
yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara lelaki dan perempuan,
sedangkan menurut arti majasi ialah setubuh. Demikian menurut Ahli Ushul golongan
Syafi’iyah. Adapun menurut Ulama Fiqih,
Nikah ialah aqad yang
di atur oleh Islam
untuk memberikan kepada lelaki hak memiliki penggunaan terhadap faraj
(kemaluan) dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan utama.
Apa yang dibenarkan untuk pria
terhadap calon yang akan dipinangnya, dibenarkan juga untuk wanita terhadap
calonnya. Kita dapat mengatakan bahwa agama menoleransi si calon suami istri
untuk bercakap-cakap atau berjalan bersama selama ditemani oleh keluarga atau
orang terhormat. Berjabat tangan dengan lawan jenis pun dapat ditoleransi oleh
banyak ulama, tetapi bukan dalam arti bermesramesraan, atau pacaran dalam
pengertian banyak muda-mudi dewasa ini. Agama sangat tegas melarang
berdua-duaan dengan calon pasangan walaupun pinangan dan lamaran telah
disampaikan. “Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka jangan
sekali-kali berduaan dengan wanita yang tidak ada bersama dia seorang
mahramnya, karena kalau mereka berdua saja, maka setan yang menggenapkan mereka
bertiga” (HR. Ahmad).
Kriteria
memilih calon suami atau istreri menurut islam adalah setiap muslim
yang ingin beruntung dunia akhirat hendaknya mengidam-idamkan sosok suami dan
istri dengan kriteria sebagai berikut:
- Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
Ini adalah
kriteria yang paling utama dari kriteria yang lain. Maka dalam memilih calon
pasangan hidup, minimal harus terdapat satu syarat ini. Karena Allah Ta’ala
berfirman :
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
(Q.s Hujuraat ayat 13)
Sedangkan taqwa
adalah menjaga diri dari adzab Allah Ta’ala dengan menjalankan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. Maka hendaknya seorang muslim berjuang untuk mendapatkan
calon pasangan yang paling mulia di sisi Allah, yaitu seorang yang taat kepada
aturan agama. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun menganjurkan memilih
istri yang baik agamanya,
“Wanita biasanya dinikahi karena
empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena
agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya).
Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda :
“Jika datang kepada kalian seorang
lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak,
maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Tirmidzi.
Al Albani berkata dalam Adh Dho’ifah bahwa hadits ini hasan lighoirihi)
Jika demikian,
maka ilmu agama adalah poin penting yang menjadi perhatian dalam memilih
pasangan. Karena bagaimana mungkin seseorang dapat menjalankan perintah Allah
dan menjauhi larangan-Nya, padahal dia tidak tahu apa saja yang diperintahkan
oleh Allah dan apa saja yang dilarang oleh-Nya? Dan disinilah diperlukan ilmu
agama untuk mengetahuinya.
Maka pilihlah
calon pasangan hidup yang memiliki pemahaman yang baik tentang agama. Karena
salah satu tanda orang yang diberi kebaikan oleh Allah adalah memiliki
pemahaman agama yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Orang yang dikehendaki oleh Allah
untuk mendapat kebaikan akan dipahamkan terhadap ilmu agama.” (HR.
Bukhari-Muslim)
- Al Kafa’ah (Sekufu)
Yang dimaksud
dengan sekufu atau al kafa’ah -secara bahasa- adalah sebanding dalam hal
kedudukan, agama, nasab, rumah dan selainnya (Lisaanul Arab, Ibnu Manzhur). Al
Kafa’ah secara syariat menurut mayoritas ulama adalah sebanding dalam agama,
nasab (keturunan), kemerdekaan dan pekerjaan. (Dinukil dari Panduan Lengkap
Nikah, hal. 175). Atau dengan kata lain kesetaraan dalam agama dan status
sosial. Banyak dalil yang menunjukkan anjuran ini. Di antaranya firman Allah Ta’ala,
àM»sWÎ7sø:$# tûüÏWÎ7yù=Ï9 cqèWÎ7yø9$#ur ÏM»sWÎ7yù=Ï9 (
àM»t6Íh©Ü9$#ur tûüÎ6Íh©Ü=Ï9 tbqç7Íh©Ü9$#ur ÏM»t6Íh©Ü=Ï9 4
y7Í´¯»s9'ré& crâä§y9ãB $£JÏB tbqä9qà)t (
Nßgs9 ×otÏÿøó¨B ×-øÍur ÒOÌ2 ÇËÏÈ
“Wanita-wanita yang keji untuk
laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji
pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang
baik untuk wanita-wanita yang baik pula.” (QS. An Nur: 26)
Al Bukhari pun dalam kitab shahihnya
membuat Bab Al Akfaa fid Diin (Sekufu dalam agama) kemudian di dalamnya
terdapat hadits,
“Wanita biasanya dinikahi karena
empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena
agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (keislamannya), sebab kalau
tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)
Salah satu
hikmah dari anjuran ini adalah kesetaraan dalam agama dan kedudukan sosial
dapat menjadi faktor kelanggengan rumah tangga. Hal ini diisyaratkan oleh kisah
Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat yang paling dicintai oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dinikahkan dengan Zainab binti Jahsy
radhiyallahu ‘anha. Zainab adalah wanita terpandang dan cantik, sedangkan Zaid
adalah lelaki biasa yang tidak tampan. Walhasil, pernikahan mereka pun tidak
berlangsung lama. Jika kasus seperti ini terjadi pada sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi kita?
- Menyenangkan jika dipandang
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang telah disebutkan, membolehkan
kita untuk menjadikan faktor fisik sebagai salah satu kriteria memilih calon
pasangan. Karena paras yang cantik atau tampan, juga keadaan fisik yang menarik
lainnya dari calon pasangan hidup kita adalah salah satu faktor penunjang keharmonisan
rumah tangga.
Maka mempertimbangkan hal tersebut
sejalan dengan tujuan dari pernikahan, yaitu untuk menciptakan ketentraman
dalam hati.
Allah Ta’ala berfirman :
“Dan di antara tanda kekuasaan Allah
ialah Ia menciptakan bagimu istri-istri dari jenismu sendiri agar kamu merasa
tenteram dengannya.” (QS. Ar Ruum: 21)
Dalam sebuah
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan 4 ciri wanita
sholihah yang salah satunya :
“Jika memandangnya, membuat suami
senang.” (HR. Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih)
Oleh karena
itu, Islam menetapkan adanya nazhor, yaitu melihat wanita yang yang hendak
dilamar. Sehingga sang lelaki dapat mempertimbangkan wanita yang yang hendak
dilamarnya dari segi fisik. Sebagaimana ketika ada seorang sahabat mengabarkan
pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia akan melamar seorang
wanita Anshar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sudahkah engkau melihatnya?”
Sahabat tersebut berkata, “Belum.” Beliau lalu bersabda, “Pergilah kepadanya
dan lihatlah ia, sebab pada mata orang-orang Anshar terdapat sesuatu.” (HR.
Muslim)
- Subur (mampu menghasilkan keturunan)
Di antara
hikmah dari pernikahan adalah untuk meneruskan keturunan dan memperbanyak
jumlah kaum muslimin dan memperkuat izzah (kemuliaan) kaum muslimin. Karena
dari pernikahan diharapkan lahirlah anak-anak kaum muslimin yang nantinya
menjadi orang-orang yang shalih yang mendakwahkan Islam. Oleh karena itulah,
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih calon
istri yang subur,
“Nikahilah wanita yang penyayang dan
subur! Karena aku berbangga dengan banyaknya ummatku.” (HR. An Nasa’I, Abu
Dawud. Dihasankan oleh Al Albani dalam Misykatul Mashabih)
Karena alasan
ini juga sebagian fuqoha (para pakar fiqih) berpendapat bolehnya fas-khu an
nikah (membatalkan pernikahan) karena diketahui suami memiliki impotensi yang
parah. As Sa’di berkata: “Jika seorang istri setelah pernikahan mendapati
suaminya ternyata impoten, maka diberi waktu selama 1 tahun, jika masih dalam
keadaan demikian, maka pernikahan dibatalkan (oleh penguasa)” (Lihat Manhajus
Salikin, Bab ‘Uyub fin Nikah hal. 202)
2.3 Kriteria
untuk Memilih Calon Suami
Khusus bagi
seorang muslimah yang hendak memilih calon pendamping, ada satu kriteria yang
penting untuk diperhatikan.
1. Addin atau agama Suami adalah pembimbing istri dan keluarga untuk
dapat selamat di dunia dan akhirat, sehingga syarat ini mutlak diharuskan.
2. Memiliki akhlak yang baik. Laki-laki yang berakhlak baik akan
mampu membimbing keluarganya ke jalan yang diridhoi Allah SWT.
3. Sholih dan taat beribadah. Seorang suami adalah teladan dalam
keluarga, sehingga tindak tanduknya akan ‘menular’ pada istri dan anak-anaknya.
4. Memiliki jiwa kepemimpinan , Suami adalah imam maka seorang
imam harus memiliki sifat kepemimpinan.
5. Sehat dalam fisik dan mental,agar terhindar dari timbulnya
perselingkuhan . islam sangan menjaga perselingkahan untuk menjaga nasab atau keturunan.
6. Calon suami
memiliki kemampuan untuk memberi nafkah.
Karena memberi
nafkah merupakan kewajiban seorang suami. Islam telah menjadikan sikap
menyia-nyiakan hak istri, anak-anak serta kedua orang tua dalam nafkah termasuk
dalam kategori dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Cukuplah seseorang itu berdosa bila
ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud. Al
Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih).
Oleh karena
itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membolehkan bahkan
menganjurkan menimbang faktor kemampuan memberi nafkah dalam memilih suami.
Seperti kisah pelamaran Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha:
“Dari Fathimah binti Qais
radhiyallahu ‘anha, ia berkata: ‘Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu aku berkata, “Sesungguhnya Abul
Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku”.
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Adapun Mu’awiyah adalah
orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah
meletakkan tongkat dari pundaknya”.” (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam hadits
ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasikan Muawiyah
radhiyallahu ‘anhu karena miskin. Maka ini menunjukkan bahwa masalah kemampuan
memberi nafkah perlu diperhatikan.
Namun kebutuhan
akan nafkah ini jangan sampai dijadikan kriteria dan tujuan utama. Jika sang
calon suami dapat memberi nafkah yang dapat menegakkan tulang punggungnya dan
keluarganya kelak itu sudah mencukupi.
Karena Allah
dan Rasul-Nya mengajarkan akhlak zuhud (sederhana) dan qana’ah (menyukuri apa
yang dikarunai Allah) serta mencela penghamba dan pengumpul harta. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Celakalah hamba dinar, celakalah
hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan celakalah hamba khamilah. Jika
diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.” (HR. Bukhari).
Selain itu,
bukan juga berarti calon suami harus kaya raya. Karena Allah pun menjanjikan
kepada para lelaki yang miskin yang ingin menjaga kehormatannya dengan menikah
untuk diberi rizki.
“Dan nikahkanlah orang-orang yang
masih membujang di antara kalian. Jika mereka miskin, Allah akan memberi
kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nur: 32)
2.4 Kriteria
untuk Memilih calon Istri
Salah satu
bukti bahwa wanita memiliki kedudukan yang mulia dalam Islam adalah bahwa
terdapat anjuran untuk memilih calon istri dengan lebih selektif. Yaitu dengan
adanya beberapa kriteria khusus untuk memilih calon istri. Di antara kriteria
tersebut adalah :
1. Addin atau agama . Ini adalah syarat yang utama dan pertama.
2. Paras, sebab paras yang cantik akan menenteramkan hati , akan
mencegah timbulnya perselingkuhan.
3. Memiliki akhlak yang baik . Wanita yang berakhlak baik insya
Allah akan mampu menjadi ibu dan istri yang baik.
4. Mempunya sifat penyayang . Wanita yang penuh rasa cinta akan
memiliki banyak sifat kebaikan.
5. Sehat secara fisik dan mental . Wanita yang sehat akan mampu
memikul beban rumah tangga dan menjalankan kewajiban sebagai istri dan ibu yang
baik.
6. Penurut atau disebut manut , sebab posisi istri adalah diatur
dan bukan pengatur sebab bila wanita mengatur maka akan hancur rumah tangga
karena wanita selalu mengambil keputusan dengan perasaan tidak dengan akal.
7. Bersedia taat kepada suami
Seorang suami
adalah pemimpin dalam rumah tangga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
34. kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki)
atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di
tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha besar.
[289]
Maksudnya: tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[290]
Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya
dengan baik.
[291]
Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri
seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[292]
Maksudnya: untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan
pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak
bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat
juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan
bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang
lain dan seterusnya.( Q.S An-Nissa :34)
Sudah
sepatutnya seorang pemimpin untuk ditaati. Ketika ketaatan ditinggalkan maka
hancurlah ‘organisasi’ rumah tangga yang dijalankan. Oleh karena itulah, Allah
dan Rasul-Nya dalam banyak dalil memerintahkan seorang istri untuk taat kepada
suaminya, kecuali dalam perkara yang diharamkan. Meninggalkan ketaatan kepada
suami merupakan dosa besar, sebaliknya ketaatan kepadanya diganjar dengan
pahala yang sangat besar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat
lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan
menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.”
(HR. Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Al Albani).
Maka seorang
muslim hendaknya memilih wanita calon pasangan hidupnya yang telah menyadari
akan kewajiban ini.
8. Menjaga auratnya dan tidak memamerkan kecantikannya kecuali kepada
suaminya. Berbusana muslimah yang benar dan syar’i adalah
kewajiban setiap muslimah. Seorang muslimah yang shalihah tentunya tidak akan
melanggar ketentuan ini. Allah Ta’ala berfirman :
59.
Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232]
ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
[1232]
Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka
dan dada.
(QS. Al Ahzab:
59)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengabarkan dua kaum yang kepedihan
siksaannya belum pernah beliau lihat, salah satunya adalah wanita yang
memamerkan auratnya dan tidak berbusana yang syar’i. Beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
“Wanita yang berpakaian namun (pada
hakikatnya) telanjang yang berjalan melenggang, kepala mereka bergoyang bak
punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan bahkan mencium wanginya pun
tidak. Padahal wanginya surga dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR.
Muslim)
Berdasarkan
dalil-dalil yang ada, para ulama merumuskan syarat-syarat busana muslimah yang
syar’i di antaranya: menutup aurat dengan sempurna, tidak ketat, tidak
transparan, bukan untuk memamerkan kecantikan di depan lelaki non-mahram, tidak
meniru ciri khas busana non-muslim, tidak meniru ciri khas busana laki-laki,
dll. Maka pilihlah calon istri yang menyadari dan memahami hal ini, yaitu para
muslimah yang berbusana muslimah yang syar’i.
9.
Gadis
lebih diutamakan dari janda
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar menikahi wanita yang masih
gadis. Karena secara umum wanita yang masih gadis memiliki kelebihan dalam hal
kemesraan dan dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis. Sehingga sejalan dengan
salah satu tujuan menikah, yaitu menjaga dari penyaluran syahawat kepada yang
haram. Wanita yang masih gadis juga biasanya lebih nrimo jika sang suami
berpenghasilan sedikit. Hal ini semua dapat menambah kebahagiaan dalam
pernikahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Menikahlah dengan gadis, sebab mulut mereka
lebih jernih, rahimnya lebih cepat hamil, dan lebih rela pada pemberian yang
sedikit.” (HR. Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al Albani).
Namun tidak
mengapa menikah dengan seorang janda jika melihat maslahat yang besar. Seperti
sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang menikah dengan janda karena
ia memiliki 8 orang adik yang masih kecil sehingga membutuhkan istri yang
pandai merawat anak kecil, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun menyetujuinya (HR. Bukhari-Muslim)
10. Nasab-nya baik
Dianjurkan
kepada seseorang yang hendak meminang seorang wanita untuk mencari tahu tentang
nasab (silsilah keturunan)-nya.
Alasan pertama, keluarga memiliki
peran besar dalam mempengaruhi ilmu, akhlak dan keimanan seseorang. Seorang
wanita yang tumbuh dalam keluarga yang baik lagi Islami biasanya menjadi
seorang wanita yang shalihah.
Alasan kedua, di masyarakat kita
yang masih awam terdapat permasalahan pelik berkaitan dengan status anak zina.
Mereka menganggap bahwa jika dua orang berzina, cukup dengan menikahkan
keduanya maka selesailah permasalahan. Padahal tidak demikian. Karena dalam
ketentuan Islam, anak yang dilahirkan dari hasil zina tidak di-nasab-kan kepada
si lelaki pezina, namun di-nasab-kan kepada ibunya. Berdasarkan hadits,
“Anak yang lahir adalah milik
pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits
yang mulia ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menetapkan anak
tersebut di-nasab-kan kepada orang yang berstatus suami dari si wanita.
Me-nasab-kan anak zina tersebut kepada lelaki pezina menyelisihi tuntutan
hadits ini.
Konsekuensinya,
anak yang lahir dari hasil zina, apabila ia perempuan maka suami dari ibunya
tidak boleh menjadi wali dalam pernikahannya. Jika ia menjadi wali maka
pernikahannya tidak sah, jika pernikahan tidak sah lalu berhubungan intim, maka
sama dengan perzinaan. Iyyadzan billah, kita berlindung kepada Allah dari
kejadian ini. Oleh karena itulah, seorang lelaki yang hendak meminang wanita
terkadang perlu untuk mengecek nasab dari calon pasangan.
Demikian
beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan oleh seorang muslim yang hendak
menapaki tangga pernikahan. Nasehat kami, selain melakukan usaha untuk memilih
pasangan, jangan lupa bahwa hasil akhir dari segala usaha ada di tangan Allah
‘Azza Wa Jalla. Maka sepatutnya jangan meninggalkan doa kepada Allah Ta’ala
agar dipilihkan calon pasangan yang baik. Salah satu doa yang bisa dilakukan
adalah dengan melakukan shalat Istikharah.
Sebagaimana hadits dari Jabir
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Jika kalian merasa gelisah terhadap
suatu perkara, maka shalatlah dua raka’at kemudian berdoalah: ‘Ya Allah, aku
beristikharah kepadamu dengan ilmu-Mu’… (dst)” (HR. Bukhari)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
Kriteria
memilih calon suami atau istreri menurut islam adalah setiap muslim
yang ingin beruntung dunia akhirat hendaknya mengidam-idamkan sosok suami dan
istri dengan kriteria sebagai berikut:
1. Taat
kepada Allah dan Rasul-Nya
2. Al
Kafa’ah (Sekufu)
3.
Menyenangkan jika dipandang
4. Subur
(mampu menghasilkan keturunan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar