Selasa, 22 Desember 2015

Mahar, Rukun Dan Syarat Nikah



BAB I
PENDAHULUAN

A.           latar belakang

Pernikahan adalah salah satu asas pokok yang paling utama dalam pergaulan atau menjadi masyarakat yang sempurna pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk mencapai pertolongan antara satu dengan yang lainnya.
Namun, untuk menuju suatu jenjang pernikahan tentunya memilki banyak kendala atau hal-hal yang perlu diperhatikan serta harus dilaksanakan seperti memenuhi criteria dalam menuju sebuah pernikahan. Salah satunya, harus melaksanakan rukun dan syarat pernikahan yang telah ditentukan.
Oleh sebab diatas, kami dari kelompok penulis ingin membahas lebi dalam lagi mengenai mahar, rukun dan syarat nikah agar pembaca dapat lebih memahmi mengenai hal tersebut dan banyak manfaat yang dapat diambil dari makalah ini nantinya.

B.           Rumusan Masalah
1.        Apakah mahar dalam pernikan itu?
2.        Apasaja rukun rukun nikah yang sesuai degan islam?
3.        Apasaja syarat-syaat yang ditetapkan dalam pernikahan islam?
4.        Apasaja larangan pernikahan?

C.            Tujuan penulisan
1.        Untuk mengetahui pengertian mahar dalam pernikan
2.        Untuk mengetahui apasaja rukun rukun nikah yang sesuai degan islam
3.        Untuk mengetahui apasaja syarat-syaat yang ditetapkan dalam pernikahan islam
4.        Untuk mengetahui apasaja larangan pernikahan

BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN MAHAR
Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah Ijab dan Qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah. Akad apapun dikatakan sah apabila memenuhi beberapa konsekuensi dalam pelaksanaanya. Akad pernikahan termasuk akad yang paling rumit ,urusannya penting, dan konsekuensinya besar. Agar dikatakan sah, akad pernikahan harus melalui beberapa tahapan, diantaranya saja hak kedua mempelai, apa hak yang khusus bagi mempelai perempuan, dan apa hak bagi mempelai laki-laki terhadap istrinya.
Berbicara tentang konsekuensi pernikahan, kita harus memaparkan hak-hak tersebut satu persatu . Pertama,kita akan mulai dari hak-hak perempuan. Adapun hak-hak istri yang wajib dipenuhi salah satunya  adalah mas kawin . Mas kawin atau sering disebut dengan mahar menjadi konsekuensi harta yang esensial bagi akad pernikahan.
Kata mahar yang telah menjadi menjadi bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab al-mahr , jama’nya al-muhur atau al-muhurah. Kata yang semakna dengan mahar adalah al shadaq,nihlah, faridhah, ajr, dan ‘ala’iqserta nikah . Kata- kata tersebut dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan mahar atau mas kawin.
Secara istilah mahar diartikan sebagai “harta yang menjadi hak istri dari suaminya dengan adanya akad atau dukhul”. Atau mahar juga dapat diartikan sebagai suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda ataupun dalam bentuk jasa ( memerdekakan , mengajar , dan lain sebagainya ).

1.         Hakekat mahar
Mahar ini pada hakikatnya dinilai dengan nilai uang, sebab mahar adalah harta, bukan sekedar simbol belaka. Itulah sebabnya seorang dibolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi mahar yang diminta oleh wanita merdeka. Kata ‘tidak mampu’ ini menunjukkan bahwa mahar di masa lalu memang benar-benar harta yang punya nilai nominal tinggi. Bukan semata-mata simbol seperti mushaf Al-Quran atau benda-benda yang secara nominal tidak ada harganya.
Hal seperti ini yang di masa sekarang kurang dipahami dengan cermat oleh kebanyakan wanita muslimah. Padahal mahar itu adalah nafkah awal, sebelum nafkah rutin berikutnya diberikan suami kepada istri. Jadi sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, deposito syariah, saham, kontrakan, perusahaan atau benda berharga lainnya.
Adapun mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat, tentu saja nilai nominalnya sangat rendah, sebab bisa didapat hanya dengan beberapa puluh ribu rupiah saja. Sangat tidak wajar bila calon suamiyang punya penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu kepada calon istrinya.

2.         Mahar dalam perspektif fiqh
Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita dengan memberi hak kepadanya diantaranya adalah hak untuk menerima mahar (mas kawin). Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri kecuali dengan ridlo dan kerelaan san istri. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan[267]. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya(An-nisa ayat 4) ”
Para ulama’ sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya, baik kontan ataupun dengan cara tempo. Pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam akad pernikahan dan tidak dibenarkan menguranginya. Jika suami menambahnya, hal itu lebih baik dan sebagai shodaqo, yang dicatat yang dicatat sebagai mahar secara mutlak yang jenis dan jumlahnya, sesuai akad nikah.
Imam Syafi’i, Imam Malik dan Abu Dawud mewajibkan pembayaran mahar sepenuhnya apabila terjadi khalwat. Apabila telah terjadi khalwat antara suami-istri, dan dapat dijadikan dan dapat dijadikan dasar bahwa terjadi dukhul (persetubuhan) antara keduanya, pihak suami wajib membayar mahar sepenuhnya sebagaimana kesepakatan yang telah ditetapkan dalam akad nikah. Akan tetapi, apabila terdapat alat-alat bukti yang dapat menimbulkan keyakinan bahwa sekalipun keduanya telah berkhalwat, belum terjadi persetubuhan, dalam hal ini kalau suami menceraikan istrinya, ia tidak wajib membayar mahar sepenuhnya karena belum terjadi dukhul dan suami wajib membayar separuhnya saja

3.             Fungi mahar
Mahar bukanlah pembayaran yang seolah-olah menjadikan perempuan yang hendak dinikahi telah dibeli seperti barang. Pemberian mahar dalam syari’at islam dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan yang sejak zaman jahiliyah telah diinjak-injak harga dirinya. Dengan adanya mahar, status perempuan tidak dianggap sebagai barang yang diperjual belikan.  Sayyid Sabiq mengatakan bahwa salah satu usaha islam dalam memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberinya hak untuk memegang urusannya. Adanya hak mahar bersamaan pula dengan hak-hak perempuan lainnya yang sama dengan kaum laki-laki, sebagaimana adanya waris dan hak menerima wasiat.[6] Dan juga untuk menjadi pegangan bagi istri bahwa perkawinan mereka telah diikat dengan perkawinan yang kuat, sehingga suami tidak mudah untuk menceraikan istrinya sesukanya serta untuk kenangan dan pengikat kasih sayang antara suuami istri.4.

4.         Besarnya mahar
Ulama’ fiqh sepakat bahwa tidak ada batasan minimal dan maksimal jumlah mahar yang harus diberikan. Jumlahnya terserah pada kemampuan mempelai laki-laki asal dianggap layak. Tidak ada ketentuan dalam agama yang menunjukkan batasan maksimal yang tidak boleh melebihi hal itu.  Imam syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar.  Tetapi sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas perak tersebut. Mereka yang berpendapat mahar tidak ada batasannya karena mengikuti bahwa sabda Nabi SAW.,”Nikahlah walaupun hanya dengan cincin besi” adalah dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Karena, jika memang ada batasan terendahnya tentu beliau menjelaskannya.

5.         Syarat Mahar
Mahar yang diberikan calon suami kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.         Harta/bendanya berharga. Tidak sah dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi apabila mahar sedikit tetapi berharga maka tetap sah.
b.        Barangnya suci dan dapat diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan babi, khamr, atau darah. Karena semua itu haram.
c.         Harta atau barangya bukan hasil curian maupun ghasab. artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizin pemilik.
d.        Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaanya.

6.         Macam-macam Mahar
a.         Mahar Musamma
Yaitu mahar yang disebutkan atau yang dijanjikan kadar dan besarnya pada akad nikah. Atau mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah. Ulama fiqh sepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila Telah bercampur (bersenggama).
Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ? ( An-nisa ayat 20)”
Yang dimaksud “mengganti istri dengan istri yang lain” pada ayat ini adalah menceraikan istri yang tidak disenangi dan menikah dengan istri yang baru. Meskipun menceraikan istri yang lama itu bukan tujuan untuk menikah, meminta kembali pemberian itu tidak boleh.

b.        Mahar mitsil
Yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat. Mahar mitsil juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut :
1)        Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
2)        Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.
3)        Salah satu dari suami istri meninggal

7.         Tata Cara Pembayaran Mahar
Mahar menjadi wajib dibayar ketika sudah terjadi persetubuhan suami-isteri. Maka si suami wajib membayar yang telah disepakati atau disebutkan dalam akad seratus persen. Kalau belum terjadi kesepakatan, maka wajib membayar mahar Mitsl. Mahar yang wajib dibayarkan 100% adalah dalam kasus sebagai berikut :
a.         Sudah terjadi persetubuhan, 
Bila si wanita sudah sempat digauli maka tak ada alasan lagi bagi suami kecuali harus membayar mahar. Meskipun di kemudian hari si suami merasa tertipu sehingga ingin membatalkan perkawinan, maka dia tetap tidak bisa membatalkan mahar karena sudah menyetubuhi isterinya itu.
b.        Suami atau isteri meninggal dunia sebelum sempat terjadinya hubungan suami-isteri.
c.         Madzhab Abu Hanifah menambahkan satu lagi, yaitu Bila pasangan suami-isteri ini sudah berduaan dan tak ada yang tahu lagi keadaan mereka, misalnya mereka masuk kamar dari malam sampai pagi. Tapi madzhab lain tidak menganggap demikian.
Apabila mahar telah disebutkan sejak akad atau sudah disepakati kedua belah pihak, lalu terjadi perpisahan sebelum terjadi persetubuhan, maka si suami tetap wajib membayarkan mahar itu setengahnya. Itupun kalau perpisahan itu sebabnya adalah pihak suami. Misalnya, si suami tiba-tiba saja ingin menceraikan isterinya lantaran dia ingin pulang ke negerinya dan lain sebagainya. Ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 237, “Dan jika kalian menceraikan mereka (isteri-isteri) sebelum menyentuhnya padahal kalian sudah menyebutkan jumlah mahar, maka hendaklah kalian membayarkan setengahnya.”
Sedangkan bila  penyebab perpisahan adalah si isteri sendiri, maka mahar tidak wajib dibayarkan sama sekali. Misalnya, si suami mensyaratkan pada saat melamar bahwa isterinya ini masih perawan atau belum disetubuhi laki-laki lain, lalu kemudian sebelum mereka bersetubuh si isteri menceritakan kejadian sebenarnya bahwa dia telah didahului oleh laki-laki lain, maka si suami berhak meminta fasakh karena telah ditipu dan tidak wajib membayar apa-apa. Atau ada cacat dari pihak isteri, misalnya ternyata isteri ini gila dan lain sebagainya.

B.       RUKUN NIKAH
Setiap ibadah tentunya mempunyai rukun dan syarat, agar ibadah tersebut sah dan sesuai dengan ajaran islam. Dalam konteksnya dengan perkawinan, rukun dari sebuah pernikahan dalam ajaran Islam adalah sebagai berikut:
1.         Adanya calon mempelai pria dan wanita
Di syaratkan untuk suami itu bukan mahram dan haruslah muslim. Laki-laki kafir atau non muslim haram menikah denganwanita muslimah. Apabila tetap dilangsungkan, maka pernikahannya batal dan hukum pergaulan diantara mereka sama dengan zina. Sedangkan untuk isteri disyaratkan haruslah bukan mahram dan tidak ada pencegah seperti sedang dalam masa ‘iddah atau selainnya.
2.         Adanya wali dari calon mempelai wanita
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman.
Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata, “Wali dalam pernikahan adalah ‘ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak wali.”
Disyaratkan adanya wali bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya wali bagi wanita sebagai penghormatan bagi wanita, memuliakan dan menjaga masa depan mereka. Walinya lebih mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi bagi wanita, wajib ada wali yang membimbing urusannya, mengurus aqad nikahnya. Tidak boleh bagi seorang wanita menikah tanpa wali, dan apabila ini terjadi maka tidak sah pernikahannya.
3.         Dua orang saksi dari kedua belah pihak
Saksi disini dimaksudkan minimal dri setiap mempelai baik dari wanita maupun pria menghadirkan dua orang saksi agar pernikahan yang hendak dijlankan lebih sah.
4.         Adanya ijab
Yaitu ucapan penyerahan mempelai wanita oleh wali kepada mempelai pria untuk dinikahi
5.         Qabul
Yaitu ucapan penerimaan pernikahan oleh mempelai pria (jawaban dari ijab)

C.      SYARAT NIKAH
 Setiap rukun yang ada harus memiliki syarat-syarat tertentu. Hal ini demi sahnya sebuah pernikahan. Adapun syarat-syarat pernikahan tersebut adalah:

1.         Menyebut secara spesifik (ta’yin) nama mempelai.
Tidak boleh seorang wali hanya mengatakan, “saya nikahkan kamu dengan puteri saya” tanpa menyebut namanya sedangkan puterinya lebih dari satu.
2.         Kerelaan dua calon mempelai.
Dengan demikian tidak sah pernikahan yang dilangsungkan karena paksaan dan tanpa meminta persetujuan dari calon mempelai. Sebagaimana sabda Nabi : “Seorang gadis tidak boleh dinikahkan sehingga diminta persetujuannya” (HR Bukhari & Muslim)
3.         Wali bagi mempelai wanita
Sebagaimana dalam sabda Nabi Saw : “Tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali” (HR. Abu Dawud).  Yang menjadi wali bagi seorang wanita adalah ayahnya, kemudian kakek dari ayah dan seterusnya ke atas; kemudian anak lelakinya dan seterusnya ke bawah; Kemudian saudara kandung pria, saudara pria ayah dan seterusnya sebagaimana dalam hal warisan. Apabila seorang wanita tidak memiliki wali, maka  sulthan  (penguasa)  yang menjadi walinya.
4.         Dua orang saksi yang adil.
Beragama Islam dan laki-laki. Sebagaimana sabda Nabi: “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil ” (HR. Al-Baihaqi).

D.      LARANGAN DALAM PERNIKAHAN
Selain rukun dan syarat penikahan, ada pula larangan antara seorang pria dan seorang wanita untuk melangsungkan pernikahan disebabkan :
1.         Pertalian nasab
a.         Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
b.        Dengan saudara ibu yang melahirkannya.

2.         Karena pertalian kerabat.
a.         Dengan seorang yang melahirkan istrinya
b.        Dengan seorang wanita, bekas istri orang yang menurunkannya.

3.    Karena pertalian susuan
a.         Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas
b.        Dengan wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawa
c.         Anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.
d.        Dengan bibi susuan dan nenek bibi susuan.



BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah cara yang halal untuk menyalurkan nafsu seks , kemudian Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman, Memelihara kesucian diriMelaksanakan tuntutan syariatMenjaga keturunan,Mewujudkan kerjasama serta tanggung jawab. Adanya syarat dan rukun merupakan point inti dari keberlangsuangan kedua mempelai yang diridhai oleh allah SWT. Sebab apabila salah satu dari syarat dan rukun tersebut maka secara otomatis pernikahan dianggap tidak sah sedangkan mahar ialah pemberian yang wajib diberikan oleh lelaki kepada perempuan yang bakal menjadi isterinya. Ia juga disebut sebagai mas kahwin. Hukumnya adalah wajib berdasarkan surah an-Nisa: ayat 4. Larangan dalam pernikahan sudah trmaktub seperti yang di paparkan sebelumnya bahwa yang di larang dalam perkawinan antara lain, Adanya hubungan mahram antara kedua mempelai, Tidak terpenuhinya rukun pernikahan dan  Terjadi pemurtadan.

B.            Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan adalah, ketika kita sebagai generasi muda dirasa sudah siap untuk melangsungkan pernikahan, maka langsung saja lakukan karena itu lebih bai dari pada banyak menunda karena dapat menimbulkan dan mengakibatkan perzinahan baik sengaja maupun tidak sengaja.






Daftar pustaka

Faid,muhamad. 2011. Syarat Dan Mhahar Perkawinana (online): http://wwwmuhammadfaiq.blogspot.com/2011/12/syarat-rukun-mahar   -perkawinan- dan.html. diakses pada tanggal 10 november 2014.
Kaloso. 2013. Mahar Dalam Pernikahan (online): http://kaloso.wordpress.com/2013/09/29/mahar-dalam pernikahan / Diakses pada tanggal 10 november 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar