BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Anak adalah amanah Allah SWT yang harus
dibina, dipelihara dan diurus secara seksama serta sempurna agar kelak berguna
bagi agama, bangsa dan Negara dan secara khusus dapat menjadi elipur lara orang
tua, penenang hati ayah dan bunda serta sebagai kebanggaan keluarga. Anak
merupakan amanat bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang masih suci merupakan
permata alami yang bersih dari pahatan dan bentukan, dia siap diberi pahatan
apapun dan condong kepada apa saja yang disodorkan kepadanya. Jika anak
dibiasakan dan diajarkan kebaikan dia akan tumbuh dalam kebaikan dan
berbahagialah kedua orang tuanya di dunia dan akhirat, juga setiap gurunya.
Tetapi, jika dibiasakan kejelekan dan dibiarkan sebagai mana binatang ternak,
niscaya akan menjadi jahat dan binasa. Maka, hendaklah orang tua dan kerabat
mendidik dan membina serta mengajarinya akhlak yang baik, menjaganya dari
teman-teman jahat, tidak membiasakannya bersenang-senang dan tidak pula
menjadikannya suka pada kemewahan.
Mendidik anak merupakan tanggung jawab
yang berat. Rasulullah SAW telah menyebutkan dengan tepat tanggung jawab
tersebut yaitu sebagai seorang pemimpin, sebagai seorang pemimpin harus
berhati-hati terhadap yang dipimpinnya. Orang tua harus selalu mengawasi dan
memperhatikan anak-anak agar tidak tersesat. Pendidikan merupakan tanggung
jawab dan kewajiban orang tua karena anak sebagai amanah Allah SWT. Oleh karena
itu, orang tua tidak boleh menelantarkan kebutuhan-kebutuhan anak yakni kasih
saying, perlindungan, pendidikan dan sebagainya. Sebagaimana sabda Rasulullah
SWA dalam sebuah hadist yang artinya “Hormatilah anak-anakmu sekalian dan
perhatikanlah pendidikan mereka, karena anak-anakmu sekalian adalah karunia
Allah kepadamu”. (HR.Ibnu Majah).
B.
Rumusan
Masalah
2. Apa
saja adab tuntunan menyambut kelahiran ?
3. Apa saja Metode dan teknik bimbingan dalam
pendidikan islam ?
C.
Tujuan
2. Untuk
mengetahui adab tuntunan menyambut kelahiran.
3. Untuk
mengetahui metode dan teknik
bimbingan dalam pendidikan islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
Kelahiran buah hati anak adalah sebuah
kebahagian bagi setiap pasangan suami istri. Dan kebahagian menyambut kelahiran
bayi tentunya harus selalu untuk disyukuri. Anak adalah karunia yang termat
indah yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Proses melahirkan bayi
adalah sebuah perjuangan bagi seorang ibu karena harus mempertaruhkan nyawanya
juga dalam sebuah proses persalinan yang dilaluinya. Islam juga telah
memberikan tuntunan menyambut kelahiran bayi ini. Tatkala seorang anak lahir,
pasangan dan keluarga bersuka cita. Dalam syariat islam didapati tuntunan
berkenaan dengan ungkapan rasa kegembiraan dan kebahagiaan saat seorang anak
lahir. Menyampaikan bisyarah (kabar gembira) untuk seseorang yang lahir
anaknya. Al-bisyarah ini adalah menyampaikan kepada seseorang tentang sesuatu yang
menyenangkan hatinya. Penyampain kabar gembira ini memiliki peranan penting
dalam menanamkan kerukunan dan rasa saling cinta di hati kaum muslimin. Dan ini
adalah salah satu dari adab menyambut kelahiran anak.
B. Adab Tuntunan Menyambut
Kelahiran
Ada beberapa adab tuntunan menyambut
kelahiran seoran anak manusia di muka bumi yang ada dalam tuntunan islam, di
antaranya sebagai berikut:
1.
Mendoakan Bayi
Hendaknya
orang tua mendoakan untuk kebaikan bagi bayi yang baru lahir. Bukan hanya orang
tua, bahkan orang lain turut mendoakan ketika mendengar berita kelahiran bayi. Ada
beberapa tuntunan doa bagi bayi yang baru lahir.
Pertama, doa memohon keberkahan untuk si
anak. Dari Abu Musa Ra, beliau mengatakan, “Ketika anakku lahir, aku membawanya
ke hadapan Nabi SAW. Beliau memberi nama bayiku, Ibrahim dan men-tahnik dengan
kurma lalu mendoakannya dengan keberkahan. Kemudian beliau kembalikan kepadaku.
(HR. Bukhari 5467 dan Muslim 2145).
Tidak
ada teks doa khusus yang isinya permohonan berkah untuk anak. Dalam Fatawa
Syabakah Islam dinyatakan, “Tidak terdapat dalil sepengetahuan kami yang
menunjukkan dianjurkannya membaca ayat Al-Quran atau doa tertentu ketika
seorang anak dilahirkan. Baik doa dari ibunya, bapaknya, atau doa dari orang
lain” [Fatawa Syabakah Islam, di bawah bimbingan Dr. Abdullah Al-Faqih, no.
13605]. Karena itu, kita bisa berdoa dengan bahasa apapun yang kita pahami.
Misalnya dengan membaca, “Baarakallahu fiik” (semoga Allah memberkahi kamu)
atau semacamnya.
Kedua, doa memohon perlindungan dari
godaan setan. Salah satu contohnya adalah doa yang dipraktekkan oleh istri
Imran, ibunya Maryam. Allah menceritakan kejadian ketika istri Imran melahirkan
Maryam. Tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Tuhanku,
sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan dan Allah lebih mengetahui
apa yang dilahirkannya itu dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.
Sesungguhnya aku telah menamai Dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya
serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang
terkutuk.” (QS. Ali Imran: 36).
Satu
hal yang istimewa, karena doa ibu Maryam inilah ketika Maryam lahir, dia tidak
diganggu setan, demikian pula ketika Nabi Isa dilahirkan. Allah mengabulkan doa
ibunya Maryam. Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Setiap bayi dari
anak keturunan adam akan ditusuk dengan tangan setan ketika dia dilahirkan,
sehingga dia berteriak menangis, karena disentuh setan. Selain Maryam dan
putranya (HR. Bukhari 3431).
Kita
bisa meniru doa istri Imran ini. Hanya saja, perlu disesuaikan dengan jenis
kelamin bayi yang dilahirkan. Karena perbedaan kata ganti dalam bahasa arab
antara lelaki dan perempuan. Jika bayi yang dilahirkan perempuan, bisa membaca
doa:
اَللَّهُمَّ
إِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Jika bayi yang lahir laki-laki, bisa membaca doa:
اَللَّهُمَّ
إِنِّي أُعِيذُهُ بِكَ وَذُرِّيَّتَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Artinya:
“Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu untuknya dan untuk keturunannya dari setan yang terkutuk.”
Kita
juga bisa memohon perlindungan untuk anak dari gangguan setan, dengan doa
seperti yang pernah dipraktikkan Nabi SAW, ketika mendoakan cucunya Hasan dan
Husain. Ibnu Abbas menceritakan bahwa Rasulullah SAW membacakan doa
perlindungan untuk kedua cucunya, sebagai berikut:
أُعِيذُكُمَا
بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ، مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ
عَيْنٍ لَامَّةٍ
Artinya: “Aku memohon perlindungan
dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari semua godaan setan dan
binatang pengganggu serta dari pAndangan mata buruk” (HR. Abu Daud 3371, dan
dishahihkan al-Albani).
Kita bisa meniru doa beliau ini,
dengan penyesuaian jenis kelamin bayi. Jika bayi yang dilahirkan perempuan,
bisa dibacakan doa:
أُعِيذُكِ
بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ، مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ
عَيْنٍ لَامَّةٍ
Dengan
lafazh : U’iidzuki..
Jika
bayi yang lahir laki-laki, bisa membaca doa:
أُعِيذُكَ
بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ، مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ
عَيْنٍ لَامَّةٍ
Dengan lafazh : U’iidzuka..
2.
Adzan dan Iqamah
Sang
ayah segera mengazani di telinga kanan dan mengiqamahkan di telinga kiri pada
anaknya yang baru lahir. Pemberian adzan dan iqamah baru lahir ini salah satu
tujuannya agar kalimat yang pertama kali didengar sang bayi adalah kalimat
thayyibah dan dijauhkan dari segala gangguan setan yang terkutuk. Sebagian
ulama menganggap sunnah membacakan adzan dan iqamah untuk bayi yang baru lahir.
Ulama yang berpendapat seperti ini diantaranya adalah Hasan al-Bashri, Umar bin
Abdul ‘Aziz, ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali. Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah,
ulama madzhab Hanbali, termasuk ulama yang menyunnahkan pembacaan adzan pada
bayi yang baru lahir ini.
Ulama
kontemporer, Wahbah Az-Zuhaily juga menyunnahkan hal ini dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami
Wa Adillatuhu, “Disukai bagi orang tua untuk mengadzani di telinga kanan bayi
yang baru dilahirkan dan diiqamati seperti iqamat untuk shalat di telinga
kirinya” (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu: 4/288).
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnahnya juga menyunnahkan dibacakan adzan ini. “Termasuk sunnah dilakukan, mengadzani telinga kanan dan mengiqamahi telinga kiri bayi yang baru dilahirkan, supaya yang pertama kali didengar telinga anak adalah asma Allah SWT”.
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnahnya juga menyunnahkan dibacakan adzan ini. “Termasuk sunnah dilakukan, mengadzani telinga kanan dan mengiqamahi telinga kiri bayi yang baru dilahirkan, supaya yang pertama kali didengar telinga anak adalah asma Allah SWT”.
Imam
An-Nawawi, tokoh ulama madzhab asy-Syafi’i dalam al-Majmu’ pada juz 8 ayat 443
menulis, “Berkata sekelompok ulama dari sahahabat-sahabat kami (ulama
Syafi’iyyah), disukai untuk diadzani di telinga kanan dan diiqamahi di telinga
kiri bayi yang baru dilahirkan”. Namun, sebagian ulama yang lain tidak
menyunnahkan adzan dan iqamat bagi bayi yang baru lahir bahkan menganggapnya
sebagai bid’ah. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Malik
bin Anas. “Imam Malik mengingkari perbuatan mengadzani di telinga bayi ketika
dilahirkan” (Mawahib al-Jalil fi Syarh Mukhtashar asy-Syaikh Khalil: 3/321).
Dalam
kitab Mausu’ah Fiqh al-Ibadat dijelaskan sikap Imam Malik, “Imam Malik benci
perkara-perkara ini (adzan selain panggilan untuk shalat) dan menganggapnya
sebagai bid’ah” (Mausu’ah Fiqh Al-Ibadat: 7/7). Para ulama yang menganggap
perbuatan ini sebagai bid’ah karena dalil atau hadits yang memerintahkan adzan
untuk bayi yang baru lahir tidak kuat, alias hadits dhaif. Oleh karena haditsnya
lemah, maka tidak bisa dipakai sebagai landasan untuk menyunnahkan adzan untuk
bayi yang baru lahir.
Jadi,
aktivitas memperdengarkan adzan dan iqamah untuk bayi yang baru lahir, dari
segi hukum fikih termasuk amal yang diperdebatkan para ulama. Walaupun dari
segi manfaat bisa diterima, bahwa memperdengarkan kalimat tauhid bagi bayi yang
baru lahir merupakan bagian dari pendidikan keimanan untuk anak.
3.
Tahnik
Kita
perhatikan tindakan yang dilakukan Rasulullah SAW terhadap bayi yang baru saja
lahir, sebagaimana penuturan istri beliau, Aisyah RA: “Apabila didatangkan bayi
yang baru lahir ke hadapan Rasulullah SAW, maka beliau mendoakan barakah
kepadanya dan mentahniknya” (HR. Imam Bukhari no. 5468 dan Imam Muslim no.
2147).
Gambar 1. Cara Taknik
Yang
dimaksud dengan tahnik adalah mengunyah kurma sampai lumat hingga bisa ditelan,
kemudian menyuapkan kurma lembut tersaebut ke mulut bayi. Apabila tidak
didapatkan kurma, maka diganti dengan makanan manis lain yang bisa digunakan
untuk mentahnik. Para ulama bersepakat bahwa istihbab (disenangi) melakukan
tahnik pada hari kelahiran anak. Demikian dijelaskan oleh Imam An Nawawi
rahimahullah ketika menerangkan tahnik ini.
Hal
yang sama juga dilakukan oleh Rasulullah SAW kepada putra Asma bintu Abu Bakr,
yang bernama Abdullah bin Zubair. Sesampainya Asma hijrah di Madinah, beliau
melahirkan putranya, Abdullah bin Zubair. Bayi ini dibawa ke hadapan Nabi saw.
Asma mengatakan, “Kemudian Nabi saw minta kurma, lalu beliau mengunyahnya dan
meletakkannya di mulut si bayi. Makanan pertama yang masuk ke perut si bayi
adalah ludah Rasulullah saw, kemudian beliau mendoakannya dan dan memohon
keberkahan untuknya” (HR. Bukhari 3909).
Perbuatan
Rasulullah SAW ini bisa kita lihat dalam hadits Anas bin Malik RA, “Aku membawa
Abdullah bin Abi Thalhah al Anshari kepada Rasulullah SAW pada hari
kelahirannya, dan waktu itu beliau menggunakan mantelnya. Lalu beliau bertanya:
“Apakah engkau membawa kurma?” Aku menjawab: “Ya.” Kemudian kuberikan pada
beliau beberapa buah kurma, lalu beliau memasukkan ke mulut dan mengunyahnya.
Kemudian beliau membuka mulut bayi dan meludahkan kurma itu ke mulut bayi.
Mulailah bayi itu menggerak-gerakkan lidahnya untuk merasakan kurma tersebut.
Maka Rasulullah saw bersabda, “Kesukaan Anshar adalah kurma,” dan beliau
memberinya nama Abdullah” (HR. Imam Bukhari no. 5470 dan Imam Muslim no. 2144).
Hadits
Anas bin Malik di atas juga memberikan penjelasan kepada kita bahwa tahnik
dilakukan dengan menggunakan kurma, dan ini yang utama. Tahnik hendaknya
dilakukan oleh orang yang shalih, baik laki-laki ataupun perempuan. (Syarh
Shahih Muslim). Begitu pula bisa kita simak kisah-kisah tentang pelaksanaan
tahnik yang datang dari sahabat-sahabat yang lainnya. Abu Musa Al Asy’ari ra
menceritakan: “Telah lahir anak laki-lakiku, lalu aku membawanya kepada Nabi
saw kemudian beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya dengan kurma”.
(HR. Imam Bukhari no. 5467 dan Imam Muslim no. 2145).
Asma’
binti Abi Bakr ra mengisahkan ketika dia mengandung anaknya, Abdullah ibnu Az
Zubair di Mekkah: “Aku keluar (untuk hijrah), sementara telah dekat waktuku
melahirkan. Maka aku pergi ke Madinah dan aku singgah di Quba’, serta
melahirkan di sana. Kemudian aku mendatangi Rasulullah saw lalu beliau
meletakkan anakku di pangkuannya. Kemudian beliau meminta kurma, dan
mengunyahnya lalu meludahkannya ke dalam mulut anakku. Maka yang pertama kali
masuk ke perutnya adalah ludah Rasulullah saw. Beliau mentahniknya dengan
kurma, kemudian mendoakannya dan memintakan barakah baginya. Dan dia adalah
bayi pertama yang dilahirkan dalam Islam (dari kalangan Muhajirin)”. (HR. Imam
Bukhari no. 5469 dan Imam Muslim no. 2146).
Tujuan
tahnik adalah persiapan agar bayi nantinya mudah untuk merasakan manisnya air
susu ibu dan juga agar mulut bayi kuat sehingga mampu menghisap air susu
ibunya. Cara mentahnik bayi adalah dengan meletakkan sedikit buah kurma di atas
jari telunjuk dan dimasukkan ke mulut bayi serta dengan perlahan-lahan
digerakkan ke kanan dan kiri. Ini dilakukan agar kurma tadi bisa menyentuh
seluruh mulut bayi hingga terkena rongga tekaknya.
4.
Aqiqah
Menurut
bahasa kata ‘aqiqah berarti memotong.
Dinamakan ‘aqiqah, karena dipotongnya
leher binatang. Ada yang mengatakan bahwa ‘aqiqah
adalah nama bagi hewan yang disembelih, dinamakan demikian karena lehernya
dipotong. Ada pula yang mengatakan bahwa ‘aqiqah
itu asalnya ialah: rambut yang terdapat pada kepala si bayi ketika ia keluar
dari rahim ibu, rambut ini disebut ‘aqiqah,
karena ia mesti dicukur. Hukum ‘aqiqah
adalah sunnah (muakkad) sesuai pendapat Imam Malik, penduduk Madinah, Imam
Syafi′i dan sahabat-sahabatnya, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan kebanyakan
ulama ahli fiqih (fuqaha).
Dalil
‘aqiqah ini dari Samurah bin Jundab
dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Semua anak bayi tergadaikan dengan
aqiqahnya yang pada hari ketujuh disembelih hewan (kambing), diberi nama dan
dicukur rambutnya” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad). Jumlah
kambing aqiqah bayi bisa dilihat dari hadits Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW
telah bersabda: “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi
perempuan satu kambing” (HR Ahmad Tirmidzi, Ibnu Majah).
5.
Memberi Nama yang Baik
Salah
satu kewajiban orang tua adalah memberi nama yang baik untuk anaknya. Nama anak
merupakan doa dan harapan dari orang tua. Memberi nama tidak boleh sembarangan,
dengan nama-nama yang sekedar indah atau unik, namun harus mengandung makna
yang baik.
Sahabat
Sahl bin Sa’d ra menceritakan, didatangkan Al Mundzir putra Abu Usaid kehadapan
Rasulullah SAW ketika dia dilahirkan. Maka Nabi SAW meletakkannya di atas
pangkuannya, sedangkan Abu Usaid duduk. Pada waktu itu Rasulullah SAW sedang
sibuk sehingga Abu Usaid memerintahkan agar anaknya dibawa kembali, maka anak
itu diangkat dari pangkuan Rasulullah SAW dan mereka pun mengembalikannya pada
Abu Usaid.
Ketika
Rasulullah SAW selesai dari kesibukannya, beliau bertanya, “Di mana bayi tadi?”
Abu Usaid pun menjawab: “Kami membawanya kembali, ya Rasulullah!” Lalu beliau
bertanya, “Siapa namanya?” Jawab Abu Usaid: “Fulan, ya Rasulullah!” Beliau pun
bersabda, “Tidak, akan tetapi namanya Al Mundzir.” Kemudian pada hari itu
beliau memberinya nama Al Mundzir (Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 2149).
Memberi
nama anak bisa dilakukan pada hari kelahirannya, hari ketiga atau hari ketujuh.
Ciri nama yang baik adalah enak didengar, mudah diucapkan oleh lisan,
mengandung makna yang mulia dan sifat yang benar dan jujur, jauh dari segala
makna dan sifat yang diharamkan atau dibenci agama. Dianjurkan menamai anak
laki-laki dengan nama Abdu (penghambaan) yang disambungkan dengan asma’ul
husna, seperti Abdul ‘Aziz, Abdul Malik, dan sebagainya. Yang sangat dianjurkan
adalah Abdullah atau Abdurrahman, sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
“Sesungguhnya nama yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman”
(HR. Muslim).
Baik
juga menamai anak dengan nama-nama Nabi dan Rasul. Nabi SAW pernah menamai
sebagian sahabat dengan nama Nabi dan Rasul. Baik pula menamai anak dengan nama
orang-orang salih, seperti dengan nama sahabat, tabi’in dan imam kaum muslimin.
Yang dilarang adalah menamai anak dengan nama yang menunjukkan penghambaan
kepada selain Allah, seperti Abdul Ka’bah, Abdusy Syams, Abdul Husain dan
sebagainya. Tidak boleh juga memberi nama anak dengan nama-nama yang khusus
bagi Allah, seperti Ar Rahman, Al Khaaliq, Ar Rabb dan sebagainya. Tidak boleh
menamai anak dengan nama-nama patung atau berhala yang disembah selain Allah,
seperti Latta, Uzza, Hubal dan sebagainya.
6.
Mencukur Rambut Bayi
Pada
hari ketujuh kelahiran bayi, disunnahkan untuk memotong rambut si bayi. Hal ini
sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasululah SAW ketika cucunya Hasan dan Husain
lahir. Rasulullah saw memerintahkan untuk memotong rambut dan menimbangnya
ukuran perak, kemudian disedekahkan kepada fakir miskin. Salah satu dalil yang
biasa dijadikan acuan dalam hal ini adalah hadits dari Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi SAW mengaqiqahi Hasan dengan kambing, dan beliau
menyuruh Fatimah untuk mencukur rambutnya. “Cukur rambutnya, dan bersedekahlah dengan
perak seberat rambut itu”. Fatimah pun menimbang rambut itu, dan ternyata
beratnya sekitar satu dirham atau kurang dari satu dirham. (HR. Turmudzi 1519,
Ibnu Abi Syaibah dalam Mushanaf 24234, dishahihkan al-Hakim dalam Mustadrak
7589 dan didiamkan azd-Dzahabi).
Catatan: satu dirham setara dengan 2,975 gr perak.
Dalam
kitab Tuhfatul Maudud, Ibnul Qoyim menyebutkan beberapa riwayat dan keterangan
ulama yang menganjurkan bersedekah dengan perak seberat rambut bayi. Pertama, Imam Ahmad mengatakan,
“Sesungguhnya Fatimah ra mencukur rambut Hasan dan Husain, dan bersedekah
dengan wariq (perak) seberat rambutnya. Kedua,
Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwatha’, dari Ja’far bin Muhammad, dari
ayahnya, beliau mengatakan, “Fatimah menimbang rambut Hasan, Husain, Zainab,
dan Ummu Kultsum, dan beliau bersedekah dengan perak seberat rambut itu”. Ketiga, Imam Malik juga menyebutkan
dalam al-Muwatha’ dari Muhammad bin Ali bin Husain, bahwa beliau mengatakan,
“Fatimah bintu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimbang rambut Hasan
dan Husain, kemudian beliau bersedekah dengan perak seberat rambut itu”.
Gambar 2. Pencukuran Rambut Bayi
Di
masa terdahulu, perak termasuk mata uang yang berlaku di masyarakat dan mudah
didapatkan. Karena itu, sedekah pada masa ini tidak harus berujud perak. Boleh
diberikan dalam bentuk uang, namun mengacu pada harga perak. Caranya, timbang
rambut bayi. Jika tidak memungkinkan, karena kesulitan mendapatkan timbangan
benda ringan, cukup diprediksi saja. Perkirakan berapa gram berat rambut itu.
Misalnya 2 gr.
C. Metode dan Teknik
Bimbingan dalam Pendidikan Islam
Dalam membimbing atau mendidik seorang anak hendaklah orang tua menggunakan
metode atau cara, agar pendidikan yang diberikan dapat berpengaruh terhadap
anak. Adapun metode-metode pendidikan yang berpengaruh terhadap
anak menurut Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Pendidikan Anak dalam
Islam terdapat pada halaman 142-315 adalah sebagai berikut:
Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti
paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual dan
etos anak. Mengingat pendidik adalah seorang figur terbaik dalam pandangan anak
yang tindak tanduk dan sopan santunnya, disadari atau tidak akan
ditiru oleh mereka. Bahkan bentuk perkataan, perbuatan dan tindak tanduknya
akan senantiasa tertanam dalam kepribadian anak. Oleh karena itu masalah
keteladanan menjadi faktor penting dalam menentukan baik buruknya anak.
Berdasarkan pendapat di atas orang tua hendaklah dalam mendidik dan
membimbing remajanya dengan cara keteladanan yang diberikan oleh orang tuanya
sendiri, artinya orang tua memberikan contoh, dalam hal ini shalat terhadap
anaknya secara baik dan benar.
2.
Pendidikan Dengan Adat Kebiasaan
Termasuk masalah yang sudah merupakan ketetapan dalam
syari`at Islam, bahwa anak sejak lahir telah diciptakan dengan fitrah tauhid
yang murni, agama yang benar dam iman kepada Allah SWT. Sesuai dengan Firman
Allah SWT dalam Q.S. Ar-Ruum: 30
… فِطرَتَ الله التىِ فَطَرَ النَاسَ عَليَهَا لاَ تَبدِيلَ
لِخَلقِ اللهِ ذلِكَ الدِينُ القَيِمُ وَلكِنَ أكثَرَ النَاسِ لاَ يَعلَمُونَ
(الروم : ٣٠)
Artinya: “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah (itulah agama yang lurus
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa anak dilahirkan dengan
naluri tauhid dan iman kepada Allah. Dari sini tampak peranan
pembiasaan, pengajaran dan pendidikan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak
dalam menemukan tauhid yang murni, budi pekerti yang mulia, rohani yang luhur
dan etika religi yang lurus.
Tidak ada yang menyangkal, bahwa anak akan tumbuh dengan iman yang benar,
menghiaskan diri dengan etika Islam bahkan sampai pada puncak nilai-nilai
spritual yang tinggi dan berkepribadian yang utama, jika ia hidup dengan
dibekali dua faktor pendidikan Islam yang utama dan lingkungan yang baik.
Dari pendapat di atas tampaklah peranan orang tua terhadap remajanya adalah
membiasakan kepada anak untuk melakukan perbuatan yang terpuji bagi pertumbuhan
dan perkembangan remajanya dalam menemukan tauhid yang murni, budi pekerti yang
mulia, rohani yang mulia dan etika relegi yang lurus.
3. Pendidikan dengan Nasehat
Nasehat termasuk metode pendidikan yang cukup berhasil dalam pembentukkan
akidah amal dan mempersiapkannya baik secara moral, emosional maupun sosial
adalah pendidikan anak dengan petuah dan memberikan kepadanya nasehat-nasehat
karena nasehat dan petuah memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membuka mata
anak-anak kesadaran dan martabat yang luhur, menghiasi dengan akhlak yang mulia
serta membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam.
Berdasarkan pendapat di atas yakni Qur`an Surat Al-Luqman ayat 13 – 17
jelaslah bahwa metode nasehat yang diberikan orang tua terhadap remajanya
sangatlah efektif, artinya orang tua hendaklah mendidik dan membimbing
remajanya dengan memberikan nasehat-nasehat yang baik terhadap remajanya agar
remajanya memiliki kesadaran akan hakikat sesuatu dalam hal ini terhadap
shalatnya.
4. Pendidikan
Dengan Perhatian atau Pengawasan
Pendidikan dengan perhatian adalah senantiasa mencurahkan perhatian penuh dan
mengikuti perkembangan aspek akidah dan moral anak, mengawasi dan memperbaiki
kesiapan mental dan sosial, disamping selalu bertanya tentang situasi
pendidikan jasmani dan kemamuan ilmiahnya.
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa orang tua hendaklah mendidik dan membimbing anak
remajanya dengan selalu memperhatikan dan mengawasi perkembangan dalam berbagai
asfek agar anak menjadi manusia yang hakiki dan membangun pondasi Islam yang
kokoh. Dalam hal ini orang tua haruslah memperhatikan dan mengawasi shalat anak
remajanya, agar mereka senantiasa tekun melaksanakan ibadah khususnya shalat
dan ibadah-ibadah umum yang lainnya. Seperti yang telah dijelaskan dalam surat
At-Tahrim ayat 6 :
يأَيُهَاالذِينَ امَنُوا قُوا أَنفُسَكُم وَأهلِيكُم
نَاراً ( التحريم:٦)
Artinya : “Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka”.
Melalui ayat di atas, maka jelaslah bahwa Allah SWT mewajibkan kepada orang
tua untuk memperhatikan dan mengawasi keluarganya agar terhindar dari siksa api
neraka.
5. Pendidikan Dengan
Hukuman
Untuk memelihara masalah tersebut, syari`at telah meletakkan berbagai
hukuman yang mencegah bahkan setiap pelanggar dan perusak kehormatannya akan
merasakan kepedihan. Akan tetapi hukuman yang diterapkan para pendidik di
rumah, atau di sekolah berbeda-beda dari segi jumlah dan tata caranya, tidak
sama dengan hukuman yang diberikan kepada orang umum. Adapun metode-metode yang
dipakai Islam dalam upaya memberikan kepada anak:
a. Lemah lembut
dan kasih sayang.
b. Menjaga tabi`at
anak yang salah dalam menggunakan hukuman.
c. Dalam usaha
pembenahan hendakanya dilakukan secara bertahap dari yang paling ringan hingga
yang paling keras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar